Jika Saya Jadi Direktur Utama PT KAI


Nggak ada alasan khusus sih, kenapa nulis ini. Sebenarnya saya agak kesal saja dengan layanan Commuter Line yang tak kunjung membaik sesuai persepsi masyarakat. Dari jadwal sering molor sampai dengan layanan di dalam Commuter Line yang sering tak sesuai Standar Pelayanan Minimum. Belum lagi stasiun – stasiun KRL juga belum sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum. Sebenarnya agak sulit jika harus mempersoalkan tentang layanan Commuter Line ke PT KCJ karena untuk Indonesia khususnya Jabodetabek ada tiga layer kelompok yang mengurusi Commuter Line ini. Layer pertama ya pemerintah selaku regulator dan pemilik rel kereta, sementara layer kedua adalah PT KAI sebagai operator kereta- kereta luar kota, pemilik stasiun dan pemilik persinyalan kereta beserta perangkatnya, dan mungkin juga SDM yang mengelola stasiun beserta perangkatnya. Sementara layer ketiga ya PT KCJ sebagai operator dan (mungkin) pemilik KRL AC dan Non AC.

Fokus tulisan ini lebih menyoroti layanan di seputar KRL agar baik stasiun maupun KRLnya sesuai dengan Standar Minimum Pelayanan Stasiun dan Standar Minimum Pelayanan KRL. Dan saya pikir, hal – hal dibawah ini yang harus dilakukan oleh Direktur Utama PT KAI dan juga Direktur Utama PT KCJ.

Pembenahan Rute Perjalanan Kereta Penumpang/Barang Luar Kota

Jika mau meningkatkan ketepatan waktu KRL, maka Kereta Penumpang Luar Kota harus berhenti/berangkat di titik – titik tertentu. Kereta Penumpang dari Jawa Bagian Timur harus berhenti/berangkat di Stasiun Bekasi, penumpang Kereta Luar Kota yang akan berangkat atau datang ke Jawa Bagian Timur ya harus mau naik KRL untuk melanjutkan perjalanan. Begitu juga kereta penumpang luar kota dari arah Banten,  mereka harusnya berhenti/berangkat di Stasiun Maja/Stasiun Parungpanjang.

Jika kereta penumpang luar kota masih masuk ke dalam kota, percayalah tak akan mungkin ada ketepatan waktu perjalanan KRL untuk selamanya. Dengan menghentikan perjalanan kereta penumpang luar kota akan di stasiun terluar dari KRL akan mempermudah perbanyakan armada KRL dan juga mendorong ketepatan waktu perjalanan KRL serta memperpendek headaway antar KRL. Selain itu, stasiun Gambir, Senen, Ancol, dan Tanjung Priok tetap bisa difungsikan sebagai stasiun KRL Jabodetabek

Lalu bagaimana dengan Kereta Barang? Tentu ini harus dipikirkan, entah dengan menambah rel dari dua rel menjadi tiga atau menambah jadi 4 rel untuk rute – rute tertentu. Karena pada dasarnya kereta barang hanya akan melewati rute – rute yang menuju pelabuhan seperti Merak dan Tanjung Priok. Pemerintah dan PT KAI harus fokus menyediakan rel tambahan bagi kereta barang yang melewati arah pelabuhan Merak dan pelabuhan Tanjung Priok.

Pembenahan Ulang Rute Perjalanan KRL

Rute Perjalanan KRL perlu dibenahi lagi dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas angkut KRL dan juga headaway antar KRL. Idealnya headaway antar KRL rata – rata adalah 5 – 10 menit sekali. Pembagian rute perjalanan KRL menjadi 6 rute bisa ditambah menjadi 8 rute dengan setiap rute harus melakukan perpindahan di stasiun transit. Tak ada lagi rute panjang seperti Bogor/Depok – Kota atau Bekasi – Kota, dan juga Bogor/Depok – Jatinegara. Sementara ada jalur yang bisa digunakan namun tidak digunakan maksimal seperti Kota – Tanjung Priok. Selain itu penting juga hanya ada 1 stasiun pemberangkatan dan 1 stasiun tujuan.

Rute yang diusulkan diubah adalah:

  • Bogor – Manggarai
  • Bekasi – Manggarai
  • Manggarai – Jakarta Kota
  • Jatinegara – Rajawali – Tanjung Priok
  • Manggarai – Tanah Abang – Duri – Kampung Bandan – Rajawali
  • Tangerang – Duri
  • Maja – Tanah Abang
  • Jakarta Kota – Kampung Bandan – Tanjung Priok

Plus kalau mau ada penambahan rute untuk ke Bandara sebaiknya model shuttle train seperti

  • Tanah Tinggi – Bandara
  • Duri – Bandara

Jadi dengan ini penumpang didorong untuk melakukan perpindahan di stasiun – stasiun transit seperti Manggarai, Jatinegara, Duri, Tanah Abang, Rajawali, Jakarta Kota, Kampung Bandan, dan Tanjung Priok (serta Tanah Tinggi kalau ada KRL Bandara). Dengan begini, tak ada lagi rute KRL yang sangat panjang, dan beberapa stasiun – stasiun yang saat ini tidak aktif untuk stasiun KRL bisa difungsikan lagi.

Tentunya di beberapa stasiun – stasiun transit membutuhkan perbanyakan rel untuk kemudahan berpindah jalur bagi KRL, tanpa ada perbanyakan rel tentu akan sulit untuk menambah KRL dan juga mengurangi headaway antar KRL.

Menciptakan Stasiun berbasis Konektivitas

Siapa yang senang berkunjung ke stasiun? Atau adakah diantara kita yang menganggap keren mengadakan meeting di stasiun? Gubernur Jakarta, Jokowi, berhasil mengangkat blusukan menjadi sesuatu yang keren. Tak kurang Presiden dan beberapa menteri juga akhirnya melakukan blusukan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Lalu kenapa stasiun nggak pernah dianggap keren sebagai tempat ngumpul dan tempat diskusi?

KRL-Joko-Lelono-3

Kata kuncinya adalah soal keterhubungan atau konektivitas. Konektivitas adalah suatu tantangan untuk menciptakan suasana keterhubungan antara stasiun, para pengguna KRL, dan para pelaku bisnis. Konekstivitas tidak boleh hanya diartikan ketersediaan jaringan wifi, namun bagaimana diarahkan agar Stasiun diciptakan sebagai public space sebagai tempat atau pusat kegiatan masyarakat urban. Pusat kegiatan masyarakat urban tidak hanya pusat bisnis tapi juga menciptakan stasiun KRL sebagai pusat kegiatan non bisnis dari masyarakat pengguna ataupun masyarakat di sekitar stasiun KRL.

Peron memang tidak boleh dipergunakan sebagai bagian atau tempat berkegiatan masyarakat, namun bagian lain dari stasiun tentunya bisa digunakan sebagai pusat dari kegiatan masyarakat urban. Tapi adakah stasiun – stasiun di Jabodetabek ataupun di Jawa dan Sumatera mengadopsi konsep ini? Rasa-rasanya sih tak ada, kalaupun tempatnya ada, yang disediakan hanyalah jajaran tempat duduk yang tidak memungkinkan orang bercengkerama dan saling tukar pendapat serta berdiskusi di dalam stasiun. Lagipula pemeriksaan karcis pada umumnya bukan pada saat akan masuk peron tapi justru saat masuk di stasiun.

Stasiun pada dasarnya adalah pusat berkumpulnya masyarakat dari segala lapisan, masyarakat urban di Jakarta senang menghabiskan waktu untuk sekedar bertukar sapa dengan sahabat atau teman kerja di tempat – tempat yang menurut mereka asyik, bersih, dan rapi. Mereka senang dengan toilet yang apik dengan standar higienis yang sama, mereka juga senang berkumpul dan lalu pergi ke tempat lain dengan mudah. Ingat standar apik dan resik bukan berarti pasti hadirnya raksasa – raksasa ritel waralaba, tapi lebih dari itu pelaku bisnis yang kecilpun mendapat tempat di stasiun.

Saya nggak suka mall sih, tapi ada beberapa konsep mall di Jakarta yang bisa di contoh, dimana para pelaku binis mendapat kios dan para penumpang duduk di meja dan tempat duduk bersama. Mereka bisa duduk sambil menikmati musik dan bersantai bersama teman, rekan kerja, dan keluarga.

Tak boleh hanya berkisar urusan perut, urusan pengetahuan dan budaya juga harus menjadi perhatian dari PT KAI. Dalam konteks ini mestinya stasiun – stasiun boleh dijadikan tempat pertunjukkan gratis bagi para seniman atau kelompok – kelompok masyarakat lain yang akan menggelar pameran atau tempat diskusi.

Pada dasarnya bagaimana menciptakan tagline meeting di stasiun itu kereeen di benak masyarakat urban di Jakarta. Yang harus diingat yang dibangun bukanlah tempat hang out tapi menjadikan stasiun sebagai pusat kegiatan masyarakat yang nantinya tentu menjadi pusat peradaban masyarakat urban.

Satu hal yang harus dipastikan, setiap stasiun KRL harus ramah terhadap balita, lansia, dan kaum difabel. Sayang sampai saat ini tak ada stasiun yang ramah terhadap tiga kelompok tadi. Mereka akan kesulitan mengakses ke stasiun, belum bicara soal akses kepada gerbong KRL. Prinsip konektivitas tidak boleh meninggalkan kelompok rentan tadi

Layanan satu kelas berbasis skema tarif yang adil.

Layanan satu kelas dan skema tariff yang adil adalah jawaban untuk mendorong masyarakat urban menggunakan transportasi massal berbasis rel. Tidak boleh ada lagi layanan dua kelas dan tarif tunggal bagi para pengguna KRL.

Masalah tariff memang sensitif dan biasanya terkait dengan kemampuan masyarakat miskin mengakses layanan transportasi berbasis rel ini. Yang harus diingat apapun jenis layanan tunggal yang dipilih transportasi massal haruslah tetap disubsidi oleh pemerintah. Pemerintah Pusat bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memberikan alokasi subsidi bagi KRL Jabodetabek. Jangan sampai juga subsidi malah menurun seperti yang dialami oleh BLU TransJakarta. Subsidi Pemerintah Pusat untuk pelayanan Kereta Api di 2013 mencapai 704 Milyar Rupiah, namun subsidi ini adalah subsidi total untuk kereta api di Jawa dan Sumatera. Belum jelas berapa nilai subsidi untuk KRL Jabodetabek. Subsidi adalah bagian dari PSO yang sebenarnya bisa diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PT KAI harus mendorong pemerintah pusat bekerja sama dengan Pemerintah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten untuk memberikan subsidi bagi transportasi massal berbasis rel ini. Bagaimanapun juga penikmat langsung dari keberadaan transportasi massal berbasis rel adalah pemerintah daerah, karena bisa mengurangi kemacetan yang sering terjadi di Jakarta dan daerah – daerah peyangganya. PT KAI dan pemerintah harus mulai meninggalkan pola berpikir bahwa subsidi hanya untuk kelompok miskin. Subsidi diperlukan untuk mendorong masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi

Selain itu perlu juga dipikirkan tariff khusus bagi para warga yang belum atau tidak bekerja misalnya anak – anak sekolah dan para lansia. Tarif untuk kedua kelompok ini harusnya berbeda dengan tariff yang diberlakukan bagai para pekerja komuter. Bagaimanapun juga mereka tidaklah produktif, dan amat tidak adil jika dibebankan biaya yang sama dengan para pekerja yang jelas – jelas produktif itu.

Selain itu PT KAI dan PT KCJ juga harus sudah memikirkan berbagai skema tariff untuk pengguna KRL, tariff tiket tidak hanya soal single trip atau multi trip berbasis stasiun, namun bisa juga berbasis langganan harian atau langganan bulanan. Untuk hari – hari libur, mestinya ada juga skema tariff keluarga untuk mendorong warga Jabodetabek untuk menggunakan KRL sebagai sarana transportasi untuk berwisata.

Dengan pola subsidi dan dikombinasikan dengan skema tariff yang adil berbasis stasiun, kelompok usia, langganan, dan wisata maka rasa – rasanya sulit untuk menerima keberatan terhadap skema dan perhitungan tariff yang bisa terjangkau oleh semua kelompok masyarakat urban Jabodetabek. Masyarakat juga harus didorong untuk menggunakan tiket elektronik untuk mengurangi penggunaan uang fisik. Namun pilihan menciptakan tiket elektronik tersendiri mestinya dikhususkan untuk pengguna kelompok non produktif, keluarga, langganan, dan wisata. Namun untuk single trip dan multi trip, PT KAI semestinya bisa menggunakan kartu uang elektronik yang sudah diterbitkan oleh beberapa bank BUMN seperti layaknya penggunaan di BLU TransJakarta. Dengan begitu PT KAI menciptakan kemudahan bagi semua orang untuk dapat menggunakan tiket elektronik sesuai kebutuhannya.

Mendorong masyarakat terbuka

Keterbukaan adalah kredo masa kini. Dengan keterbukaan, maka aktvitas masyarakat juga akan lebih lancar begitu juga proses informasi dan komunikasi akan jauh lebih lancar apabila didorong adanya iklim keterbukaan.

Keterbukaan bisa dimulai dari hal – hal kecil, misalnya di setiap stasiun dipasang pengumuman persentase keterlambatan KRL baik kedatangan atau keberangkatan per hari per minggu dan per bulan. Selain itu pula disediakan informasi di stasiun dan di dalam KRL setidaknya dalam dua bahasa untuk memudahkan warga Jabodetabek dalam menggunakan KRL.

Penting juga untuk mendorong keterbukaan agar setiap stasiun menerbitkan laporan tahunan secara berkala dan membahasnya dalam diskusi di stasiun dengan seluruh pemangku kepentingan, dengan begitu para pemangku kepentingan stasiun dan KRL akan memberikan masukan dan umpan balik untuk perbaikan layanan stasiun dan layanan KRL. Kritik sekeras apapun haruslah diterima dengan lapang dada oleh para kepala stasiun dan juga para pemimpin perjalanan KRL. Karena hanya dengan adanya kritik maka PT KAI dapat terus menerus melakukan pembenahan layanan.

Untuk itu secara berkala PT KAI harus menyediakan informasi yang tanpa harus diminta, bentuk bisa bermacam – macam dan terutama ditempatkan atau diumumkan di tempat – tempat yang mudah dicapai oleh masyarakat.

Penutup

Ah, sudahlah, ini sekedar buah pikiran saya yang sedang labil ini, bukan soal caper tapi lebih berbagai soal dengan banyak khalayak. Mudah-mudahan sih berguna, kalaupun tidak setidaknya berguna untuk diri saya sendiri

Advertisement

4 Comments Add yours

  1. @NaikUmum says:

    tulisan yg mencerminkan aspirasi byk pihak

    cuma penghentian KAJJ di BKS/Maja kurang setuju

    karena akan menghilangkan konektivitas antara angkutan antar kota dengan angkutan luar kota

    Like

    1. Anggara says:

      @NaikUmum

      Konektivitas yang hilang dimana? Kan stasiunnya masih sama. Dan tinggal ganti moda sajakan?

      Like

  2. Ahmed says:

    Ini kalau jadi direktur utama PT KCJ mungkin, bukan PT KAI. Terlalu KRL minded. Masalah perkeretaapian bukan cuma KRL kan?

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s