Tiap sore, sekitar 18:30-an di THB dapat disaksikan KRD jurusan Parungpanjang lewat. Jalannya yang tidak kencang membuat isi dalamnya bisa dilihat. Kosong. Bahkan kadang satu gerbong bisa dihitung dengan jari jumlah penumpangnya. Sementara itu pada saat yang sama penumpang CL banyak betul yang nmenunggu di THB . Apalagi jika ada CL gangguan atau jadwal ngaco. Penuh bener.
Lha knapa sih KRD tidak berhenti saja di THB untuk angkat itu penumpang? Ya tahu, mereka beda operator, PT KAI dan PT KCJ. Beda harga pula. Ya terus kalau beda operator dibiarkan tidak membantu mengangkut penumpang? Soal harga bisa dinegosikan. Toh dua operator itu ujungnya masih sama pemiliknya.
Pemecahannya bisa begini. Penumpang naik pake KRD pakai tiket elektronis, tak perlu tiket khusus. Pas turun nanti saldo tiketnya berkurang sesuai tarif KRD. Toh ini elektronik, gampang diatur begitu. Nah jadi gampang juga bila uang tiket penumpang yang naik KRD tadi mau dicatat sebagai pendapatan operator PT KAI. Tinggal hitung-hitungan antara PT KCJ – PT KAI. Mudah dan jelas sekarang karena datanya tersedia.
Lha tentu ada yang mempertanyakan bagaimana bisa memisahkan penumpang berdasar kereta yang dinaiki. Jawabannya: gampang, asal kereta. Pada saat yang sama di sebuah stasiun tidak mungkin ada kereta dari arah yang sama. Penggunaan tiket elektronis, gampang mengidentifikasi berdasarkan asal stasiun penumpang. Betul sih bukan berdasar kereta yang dinaiki tapi bedanya tidak jauh.
Tentu saja bisa penumpang naik KRD tapi turun di stasiun terus nunggu CL datang baru keluar. Tapi berapa penumpang yang akan berperilaku seperti itu. Bukankah penumpang memilih naik KRD, dengan harga lebih tinggi, karena mau cepat sampai rumah? Tentu tak masuk akal kalau terus malah nunggu di stasiun tujuan.
Bagaimana jika saldo tiket elektronik tidak mencukupi buat transaksi KRD ? Kenakan suplisi di stasiun tujuan. Tentu harus ada sosialisasi biar penumpang memahami.
Segala usul di atas menjadi tidak perlu jika PT KAI selaku operator KRD merelakan saja keretanya dinaiki penumpang CL tanpa hitung-hitungan lagi :))
Hmmm, menarik sih. Tapi berarti tiketnya kudu elektronik semua dong
LikeLike
Tidak Kak. Sepanjang dia cuma mau naik KRD, ya dia tidak perlu tiket elektronik. Idenya cuma supaya yang punya tiket elektronik dapat naik KRD.
Tadi ada yang twit tanya: kenapa dia punya tiket elektronik tapi gak boleh naik KRD yang tersedia di stasiun Duri, padahal cuma mau ke KBY yang jelas KRD berhenti.
Nah, mungkin cara itu dapat menyelesaikan masalah di atas.
(Ya kenapa kita yang pegang tiket elektronis gak boleh naik KRD ? Kenapa ? Karena PT KAI gak rela !)
LikeLike
@bibin
Hahahaha, ya bisa jadi juga gitu sih. Tapi gimana dengan kebijakan PT KAI yang melarang penumpang berdiri untuk Kereta Api Jarak Jauh? Apakah ini juga jadi alasan kenapa penumpang KRL dilarang naik KRD?
Hal penting lain, KRD itu diklasifikasi sebagai apa ya?
LikeLike
KRD bukan KA jarak jauh, jadi diperbolehkan ada penumpang berdiri dengan junlah maks 50% penumpang duduk. Klasifikasinya masuk KA lokal. IMO yg jadi masalah sih sterilisasi stasiun. Apalagi pemeriksaan tiket di KRD ga ketat, kadang diperiksa, kadang enggak. Sedangkan sistemnya KCJ udah rapih pake gate. Makanya KRD sekarang stasiun pemberhentiannya di stasiun yg juga sebagai stasiun KRL ga banyak. 2011 sebelum jaman tiket elektronik masih lihat KRD berhenti di THB kok 🙂
LikeLike