Mungkin banyak yang akrab dengan tagline produk jamu “Orang Pintar Minum Tolak Angin”
Tapi tahukah anda, banyak pula orang pintar yang naik angkutan umum?
Angkutan umum di Jakarta sudah terlanjur termarjinalkan dengan stigma tidak nyaman, kumuh, tidak aman dan (alasan penuh gengsi) ‘murah’. Stigma-stigma tersebut membuat angkutan umum dikesankan hanya dinaiki mereka-mereka yang tidak bisa memiliki kendaraan pribadi (sayangnya di negeri ini salah satu indikator kemakmuran; Kendaraan).
Namun diantara sekian stigma negatif tersebut, publik sempat terhenyak dengan adanya seorang Ketua KPK, Bambang Widjoyanto, tertangkap kamera sedang berada di peron Manggarai berdesak-desakan dengan penumpang lain (bukan dalam tujuan kampanye tentunya).
Citra angkutan umum sebagai angkutan kaum intelek juga penulis dapatkan sewaktu masih kuliah di salah satu kampus selatan Jakarta dimana banyak pengajar yang menggunakan KRL (waktu itu namanya KRL), patas AC maupun angkot untuk menuju kampus. Alasannya? Banyak, diantaranya;
1. Produktif. Bisa mengisi waktu untuk mengerjakan hal lain yang lebih produktif (dibanding sekedar ngegas-ngerem) semisal membaca buku. Seiring meningkatnya keamanan di angkutan umum dan kemajuan teknologi, tidak jarang kita temukan orang sedang membuat tulisan baik menggunakan gadget maupun laptop di angkutan umum.
2. Lebih santai. Naik angkutan umum, kita tidak harus pusing berebut jalan raya dengan ratusan mobil-motor lain. Sampai ditujuan tingkat stress kita masih belum terlalu tinggi dibanding pemotor dan pemobil.
3. Murah. Nah yang ini banyak yang tidak disadari. Seorang teman yang berdomisili di Cempaka Putih selalu menggunakan patas AC atau KRL (waktu itu namanya belum Commutter) padahal di rumahnya ada 2 mobil dan 1 motor yang bisa dia gunakan. Dia menjelaskan alasan menggunakan angkutan umum adalah murah. Perbandingannya naik bis dia hanya mengeluarkan Rp 8500 (Metromini 03 Rp 2000 dan Mayasari AC84 Rp 6500). Bandingkan dengan naik mobil dimana dia harus mengeluarkan uang tol Rp 15.500 ( tol dalam Kota Jakarta Rp 6500, TMII Rp 2000 dan JORR Rp 6500) sekali jalan, belum termasuk bensin. (Note: tarif tahun 2007, perbandingan harga 2014 tidak jauh berbeda. Tetap lebih murah naik umum).
Terakhir, penulis masih sering berpapasan dengan Prof Paulus Wirutomo, Guru Besar Sosiologi UI, di peron stasiun Cikini.
Jadi masih mau terjebak dalam stigma lama tentang angkutan umum, atau mau bergabung dengan para intelektual tersebut??
Orang pintar Naik Umum!!
Andreas Lucky Lukwira
@A_Lucky_L
also follow
@NaikUmum
Jaminan Ga Nyasar di Pulau Jawa
Angkutan umum memang bisa jadi solusi agar jalanan tidak terlalu padat kendaraan bila banyak orang memilih untuk menyimpan kendaraan pribadinya..
LikeLike
Memang sebaiknya naik angkutan umum untuk aktivitas sehari-hari, meski boleh juga memakai kendaraan pribadi seperti mobil atau motor sesekali atau bila harus menempuh perjalanan yang jauh
LikeLike