Sisi lain kehidupan adalah hal yang tak pernah kita tahu, bahwa hidup menawarkan beribu pilihan, beribu catatan, dan sisi itu tengahku saksikan di relasi kehidupan. Kamis, medio Juli, malam itu, saat atmosfer perpolitikan sedikit menghangat bahkan cendrung panas, Tuhan seolah sengaja memberiku sebuah perenungan berharga.
Gerbong, stasiun dan rangkaian kereta seolah jadi saksi bisu bahwa perjalanan adalah ibarat kereta yang melintasi rel-rel yang saling silang menuju stasiun. Dan perjalanan terakhir dari stasiun adalah sebuah keabadiaan dan akhir dari kehidupan. Inilah hidup sebuah sebuah peran yang harus kita mainkan dengan tersedu atau tersenyum, menangis atau tertawa, bahkan tak urung terpingkal jenaka mentertawakan kehidupan yang amat lucu tapi tragis ini. Kontras yang kita lihat adalah sebuah kebiasaan kultur bangsa yang mulai menjangkiti sebagian rakyat kita, mungkin telah lelah juga dengan kehidupan sendiri pun yang begitu sulit, dan pada akhirnya ruang-ruang empati itu seolah hanya bagian ritual rutinitas keagamaan dengan bersandar pada hari kebesaran agama masing-masing.
Aku terpaku pada pergeseran paradigma ini, yang kian hari mensesaki akal dan nalarku, atribusi dalam skala ini adalah penghormataan pada bendawi atau materealisme. Sedang sisi lain kehidupan yang lain seolah menampakan ketimpangan, kerumunan pertanyaan memenuhi otakku. SIAPA MEREKA? KENAPA MEREKA SELARUT INI BERKELUYURAN DI KRETA? APA RUMAHNYA TAK LAYAK? APA MEREKA TAK SEKOLAH? Bukankah mereka menginginkan kasih sayang dan belai lembut sapaan? aku tersedu
Sambil kutatap seorang anak yang tertidur damai di kursi KRD jurusan Angke, tak tersirat kesedihan di wajahnya, tak tergambar kegetiran di matanya. Mata-mata polos yang harusnya menghiasi meja -meja belajar atau bangku-bangku sekolah namun malam ini mereka malah bercengkrama dengan asyik di gerbong kereta.
Anak-anak jalanan, itu sebutan mereka yang lahir di atas trotoar beralaskan aspal, besar dengan asap roda dan deru kereta. Anak Jalalan entah siapa yang menyematkan predikat itu, mereka bertahan di kerasnya kehidupan, dengan wajah lugu mereka jalani kerasnya kehidupan yang kadang mereka sendiri tak tahu kenapa mereka ada.
Aku menyeka lelehan air mata yang terasa membasahi kedua mataku, apakah seperti ini potret anak-anak di Negeriku tercinta? Belum lagi bahaya yang mengintai mereka. Pedofilia sebuah laten baru yang menyeruak dari bobroknya sistem imunitas iman, apakah negeri ini akan jadi Sodom yang di hujani Tuhan dengan batu dalam sejarah Nabi Luth? Entahlah
(sambil menyeka air mata yang mengembang di kelopak mata, aku beranjak keluar kereta)
Jalur Rangkas – Parungpanjang, medio Juli 2014
Hery S Ardiansyah