“Perhatian dari arah kehampaan segera masuk kereta listrik jurusan stasiun cinta. Para jomblomania diharap untuk mempersiapkan diri. Periksa kembali tiket dan hati Anda, jangan sampai tertinggal atau tertukar.”
Sebagai seorang TRAINer (Penumpang Kereta), saya menyarankan agar jomblomania sering naik Kereta Rel Listrik (KRL) yang ngider wira-wiri sepanjang jalur Jabodetabek. Semacam terapi listrik untuk obat Jomblo Ati. Percayalah, dalam waktu singkat hati yang jomblo akan berganti dengan hati yang berbunga-bunga. Halah.
Syahdan, kehidupan di atas kereta sering disebut sebagai miniatur kondisi sosial suatu bangsa. Entah sudah berapa pasangan dipertemukan di peron stasiun atau sesak kereta. Walaupun ada yang memanfaatkan kereta untuk menutupi perselingkuhan. Tapi jomblomania tak perlu pesimis. Lha pacar aja belum punya, mana mungkin diselingkuhi.
Sebelum naik kereta, seorang jomblo harus punya sikap optimis. Sesesak apapun, calon penumpang bisa merangsek masuk ke dalam kereta. Begitu juga dengan cinta, selalu ada celah dan kesempatan bagi jiwa hampa.
Sikap “Jomblo juga bisa!” sangat penting sebagai pintu pembuka menuju kereta cinta. Jangan buru-buru ngenes, nanti diolok-olok “Kereta aja punya gandengan.” Ketika naik KRL juga tak boleh berlara hati. Nanti derak roda kereta akan terdengar meledek, “jomblo-jomblo… jomblo-jomblo…” atau “njaluk rabi… njaluk rabi…”
Mengapa terapi naik kereta listrik bisa menjadi obat ampuh bagi “Jomblo ati”?.
Pertama, KRL bisa mengajari Jomblomania bagaimana mengambil sikap, mensiasati kesempatan, dan berani mengambil resiko. Ketika memasuki stasiun kereta tak berlama-lama memberi kesempatan bagi calon penumpang. Pintu hanya terbuka tak lebih dari 30 detik saja. Waktu yang sangat singkat untuk arus naik turun penumpang.
Memang “masih ada kereta yang akan lewat,” namun harus diperhitungkan juga masalah waktu dan beberapa hal. Terlambat ke tempat kerja, selain dimarahi bos, gaji juga bisa disunat. Belum tentu perjalanan akan lancar jaya, siapa tahu di depan sana banyak hambatan sehingga perjalanan kereta tertahan.
Begitu juga dengan cinta. Jika ada sinyal hijau dari seseorang, jiwa seorang masinis harus sigap mengambil sikap. Jangan sampai kesempatan yang datang diserobot orang. Orang tua di kampung sudah ingin menimang cucu. Teman-teman juga sudah bosan bertanya: kok masih sendirian aja. Ingat cinta bukan seperti angkot yang suka ngetem berlama-lama dan menunggu kursi penuh.
Kedua, Ketika jomblomania naik KRL, maka “lihatlah sekitar kita.” Ah, betapa banyak penumpang berwajah pas-pasan mengandeng erat tangan pasangannya. Asyik mesra, seakan kereta milik berdua, sementara yang lain hanya penumpang gelap saja. Begitulah, sesak kereta memang bisa menautkan dua hati dalam perasaan yang sama. Mungkin karena merasa senasib dan sepenanggungan.
Ketiga, di dalam KRL ada banyak modus yang bisa dipakai untuk memulai perkenalan. Pertanyaan-pertanyaan klasik bisa menjadi pembuka percakapan: “Mau kemana?”, “Turun di Stasiun Mana?”, “Ini kereta jurusan mana ya?”, “Kalau mau ke Monas nanti turun di stasiun apa ya?” dan lain-lain. Pertanyaan itu akan berlanjut dengan pertanyaan atau percakapan: “Kerja dimana?”, “Asalnya darimana?”, “Wah kita satu arah dong”, “Punya obeng nggak?”, “Bapakmu masinis ya?” dan masih banyak lagi.
Nah, kalau kebetulan bertemu dengan orang satu wilayah atau tujuan searah, percakapan akan lebih mengalir. “Lho, saya juga dari Purworejo kok. Purworejonya sebelah mana?” atau “Kalau gitu kita turun di stasiun yang sama. Emang kerja di mana?”
Keempat, kalau perkenalan menimbulkan “kesan pada pandangan kereta,” maka perjumpaan berikutnya bisa mudah dilakukan. Perlu diingat bahwa seorang penumpang rutin KRL biasanya naik dan turun di stasiun yang sama, pada jam yang sama, dan naik di gerbong yang sama pula. Nah, kita tinggal mengingat-ingat saja, besok pasti akan bertemu lagi. Percakapan akan lebih mudah, “Eh ketemu lagi. Sendirian ya.” Tapi jangan buru-buru minta nomer hape, alamat fesbuk atau twitter. Yang penting akrab dulu.
Kelima, jika perkenalan pertama tidak berkesan, jangan buru-buru memutuskan hubungan. Sebab seorang penumpang KRL biasanya anggota Roker (Rombongan penumpang kereta). Ada banyak roker yang suka mojok di dekat persambungan kereta. Teman baru bisa menjadi pembuka jalan bagi kita untuk masuk jadi bagian dari roker/komunitas. Siapa tahu di rombongan tersebut ada seseorang yang memikat hati. Ibarat pepatah: makan bubur panas dari pinggir, ikut komunitas siapa tahu ada yang naksir.
Dalam sesak KRL, selalu ada sisi romantis yang memberi angin segar bagi Jomblomania. Setelah rutin naik KRL, seorang jomblo akan bertemu pasangannya dan mengungkapkan kata, “Aku mencintaimu dengan sepenuh kereta.”
— oOo —
Depok, 29 Desember 2014
*Setiyo Bardono, TRAINer, penulis buku antologi puisi “Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta,” dan Novel “Separuh Kaku.”
lumayan kocak ceritanya…salam sukses yaa..
LikeLike
sangat sangat menghibur….:))
LikeLike
@wiwid
keren ya hehehehe
LikeLike