
Hehehe, judulnya sok keren ya? Karena akhir-akhir ini penulis lain di sini bercerita tentang pengalamannya dengan KRL Jabodetabek, akhirnya saya pun kepikiran buat bercerita pengalaman saya di sini. Sekalian ngisi lagi juga di sini, karena emang udah lama absen nulis di sini.
Warning: Tulisan di bawah ini mungkin mengandung sedikit curhatan
Jadi sebagai prolog, saya mau jelasin dikit soal KRL Jabodetabek. KRL Jabodetabek merupakan salah satu transportasi masal yang menghubungkan antara Jakarta dengan kota-kota penyangganya. KRL Jabotabek sudah hadir selama 92 tahun, itu artinya pada tahun 2025 nanti KRL Jabodetabek akan berusia genap seabad. Bisa dibayangkan betapa KRL Jabodetabek sudah menjadi bagian hidup dari banyak sekali orang. Pada awalnya, rute yang dibuka hanya Tanjung Priok-Jatinegara, dan secara bertahap sampai tahun 2017 ini elektrifikasi sudah menjangkau sangat jauh, dengan batas-batas yaitu Tangerang, Rangkasbitung, Bogor, dan Cikarang. Bahkan seluruh jaringan perkeretaapian di provinsi DKI Jakarta sendiri sudah terelektrifikasi.
Armada KRL sendiri berubah sesuai perkembangan zaman, dari awalnya menggunakan KRL dengan spesifikasi sederhana buatan Belanda dan lokomotif listrik, KRL non AC buatan Jepang dengan spesifikasi yang juga cukup sederhana dan murah meriah, hingga KRL buatan dalam negeri sampai kini hampir seluruh armada KRL Jabodetabek menggunakan kereta bukan baru dari Jepang, dengan rentang tahun pembuatan antara 1964-1991, dan tahun refurbishment antara tahun 1990an-2005.
Perkenalan dengan KRL Jabodetabek
Sebelum kenal sama KRL Jabodetabek, saya justru kenal lebih dulu sama kereta api jarak jauh. Waktu umur saya masih beberapa bulan, saya naik kereta api Sawunggalih menuju ke kampung saya di pinggiran Jawa Tengah sebelah selatan, yang kalo orang bilang daerah ngapak. Barulah ketika pindah rumah ke Depok, yang kalau menurut anekdot merupakan akronim dari Daerah Elit Pilihan Orang Kota, saya mulai mengenal KRL Jabodetabek.
Waktu itu, keluarga saya pindah ke sebuah rumah kontrakan petakan di belakang Stasiun Depok. Rumah petakan itu memiliki teras belakang yang langsung menghadap ke emplasemen Stasiun Depok. Saya sering menghabiskan masa kecil saya bermain di teras belakang, melihat lalu lalang KRL sambil disuapi makanan.
Ketika saya beranjak lebih besar, tepatnya sebelum masuk TK, saya sudah diajak jalan-jalan naik KRL ke Bogor maupun Jakarta. Waktu itu, semua KRL masih menggunakan KRL non AC, yang di bagian interiornya ada yang tempat duduknya memanjang dan ada juga yang berhadap-hadapan. Saat itu, setidaknya ada 4 jenis KRL yang beroperasi. Ya namanya KRL non AC, kenyamanannya juga so-so lah ya. Kalau panas ya gerah, apalagi kalau sedang rush hour dan kereta penuh. Kalau dingin ya dingin.
Kecintaan terhadap moda transportasi ini mulai tumbuh ketika dulu saya sering dibawa ke Mangga Dua oleh ayah saya, dan pulangnya selalu menggunakan KRL Depok Ekspres. KRL Depok Ekspres dulu selalu menggunakan rangkaian yang sama, dan oleh karenanya saya sampai hafal urutan formasi rangkaian tersebut lho! Bahkan karena seringnya diajak naik KRL, seluruh dinding rumah dan buku gambar saya penuh dengan gambaran KRL. Ya maklum ya, namanya anak-anak pasti pelampiasannya ke gambar.
Late Childhood to Early Teenager

Memasuki masa SD, frekuensi naik KRL saya agak berkurang. SD yang full day school agak membatasi waktu dengan KRL. Di masa ini, saya ngga lagi naik KRL di setiap hari Sabtu, paling hanya sebulan dua kali atau bahkan ngga sama sekali. Di masa ini juga saya kenalan sama armada KRL jenis baru yang ga pernah saya lihat sebelumnya. KRL ini sering disebut KRL hibah, karena memang pemberian pemerintah Kota Tokyo, Jepang. KRL dengan seri 6000 yang kini saya ketahui awalnya beroperasi di jalur Mita milik perusahaan Toei Subway ini merupakan keran pembuka impor KRL bukan baru dari Jepang, yang berlangsung hingga kini.
KRL ini beda jauh dari KRL yang udah beroperasi sebelumnya, Kursi busa, ruangan yang lebih kedap suara, keberadaan pendingin udara, dan ukuran yang sedikit lebih tinggi menjadikan KRL ini lebih elegan pada masa itu. Sebagai penumpang setia Depok Ekspres, saya beruntung cukup sering menaiki KRL ini saat heyday-nya. Sebagai anak-anak pun saya juga tahu kalau KRL Toei ini lebih nyaman, dan sejak itu pula saya lebih senang kalo diajak naik KRL AC. AC yang lumayan adem, serta suspensi yang lembut bener-bener gak ada duanya waktu itu. Setiap pengguna KRL Pakuan Ekspres pasti punya kenangan yang membekas dengan KRL ini.
Di pertengahan menuju akhir masa SD, datang lagi KRL dari Jepang. Kali ini KRL seri 103 dan seri 8000. Saya gak punya terlalu banyak cerita sama KRL seri 103 karena dinasannya selalu di Tangerang, tapi punya banyak cerita dengan seri 8000, terutama satu rangkaian yang sering dinas KRL Depok Ekspres langganan. Kemudian, rangkaian ini pun jadi favorit saya dari baru mulai nunjukin tanda-tanda bakal jadi railway enthusiast sampai akhirnya sekarang jadi railway enthusiast.
And then… Masa-masa SD selesai. Kini beranjak masuk SMP. Awalnya saya gak begitu sering naik KRL, tapi di masa ini saya mulai bandel. Rumah saya waktu SMP ini berada di daerah Rawageni, di tengah-tengah Depok dan Citayam, yang kini terkenal karena keberadaan Dipo KRL Depok. Di sini saya mulai bandel, naik kereta sendirian pulang sekolah meskipun cuma dari Depok sampai Citayam. Keberadaan teman-teman SMP yang rumahnya di Citayam dan menggunakan KRL untuk berangkat atau pulang sekolah membuat saya tergiur untuk ikutan pulang sekolah naik KRL. Di masa ini juga saya mulai kenal fotografi dengan kereta sebagai objeknya. Di sinilah kemudian saya makin bandel, diam-diam memakai kamera untuk memotret kereta sepulang sekolah sampai akhirnya ketahuan terus ya gak motret lagi… Ehehe.
Masa-masa Paling Indah, Masa-masa di SMA

Masa-masa SMP begitu singkat, dan gak kerasa udah naik tingkat lagi ke SMA. Masa-masa SMA, kata orang merupakan masa indah dan memang benar indah adanya. Diawali dari sekolah yang masuk siang dan sekolah yang jauh dari rumah apalagi rel, awalnya saya ngira bakal bener-bener jarang naik KRL tapi ternyata nggak juga. Sekolah yang pulang sore, jalanan yang macet dan kantong penumpang angkot di stasiun kereta membuat angkot yang saya tumpangi sering mengalihkan perjalanan ke Stasiun Depok Baru. Dan alih-alih ganti angkot yang menuju rumah, saya naik KRL dulu ke Stasiun Depok atau Citayam, baru naik angkot ke rumah. Waktu itu, saya masih bandel, tiap kali naik kereta saya jarang beli tiket. Saya hanya menumpang dengan percuma, dan lekas naik ketika ada kereta yang datang karena kereta tidak berhenti lama.
SMA juga merupakan masa-masa pertama saya kenal dengan yang namanya romansa cinta remaja. Saya memiliki seorang teman perempuan, yang ternyata diam-diam memperhatikan saya dan mengikuti kebiasaan saya naik kereta. Emang ya, seorang railway enthusiast ternyata kisah cintanya juga ga jauh-jauh dari kereta. Bahkan jadian sama perempuan itu pun di Stasiun Jakarta Kota, di suatu sore yang cerah setelah diguyur hujan di bulan April 2011, sehari sebelum ulang tahunnya. Semasa pacaran ini, saya sering mengajak dia naik kereta keliling Jakarta, tidak seperti anak-anak lain seusia saya pada umumnya yang kencan di mal atau di restoran. Dia sendiri tertular jadi railway enthusiast oleh saya, dan memiliki rangkaian favorit yang fotonya saya jadikan sampul untuk subjudul ini. Sekarang sih, perempuan ini udah jadi mantan…
Beberapa pengalaman tidak mengenakkan di kereta juga saya temui di masa SMA, di antaranya ketemu bapak-bapak yang (maaf) suka sesama jenis sampai beberapa kali, dan pernah juga ditodong di Stasiun Kampung Bandan.
Kuliah: Setahun Jarang Naik KRL, Pensiunnya KRL-KRL yang Menemani Masa Kecil

Dan lagi, masa SMA berlalu begitu cepat. Saya kini masuk dunia perkuliahan. Awalnya, saya memilih merantau dan hal itu membuat saya jauh dari KRL Jabotabek. Sehingga saat saya di rantau, otomatis saya jarang sekali naik KRL. Seolah ada yang dunia direnggut. Waktu itu saya merantau ke kota Solo, kotanya seorang pria yang kini menjabat sebagai Presiden RI, dan selama di sana saya justru bertemu dengan mantan KRL yang jadi KRD.
Gak betah di rantau sebagai efek dari salah jurusan, saya putuskan kembali ke Depok dan meninggalkan kota Solo untuk kepentingan pendidikan selamanya. Kini, saya kuliah di sebuah universitas swasta di pinggiran Depok, yang merupakan salah satu kampus para roker atau rombongan kereta, karena memang mahasiswanya banyak yang menggunakan kereta.

Pelayanan KRL di masa ini jauh lebih baik daripada masa-masa sebelumnya buat saya, meskipun seolah-olah keretanya cuma sejenis. Introduksi KRL seri 205 di akhir tahun 2013, baru berakhir di awal tahun 2016 yang lalu, dan jumlah kedatangannya banyak sekali. Menggusur KRL-KRL lain yang menjadi bagian masa kecil saya ke Purwakarta maupun ke Subang, meskipun saya akui memang dari kenyamanan KRL-KRL yang sudah lebih berumur itu kalah nyaman. Namun kenangan bersama KRL-KRL itu bikin gagal move on, karena meskipun masa itu gak sebaik sekarang tapi masa itu jauh lebih indah.
Epilogue
Begitulah cerita saya bersama KRL Jabodetabek sejak zaman KRL non AC, yang selalu penuh penumpang, tukang dagang, tukang ngamen, lalu awal-awal masa KRL AC di mana pelayanan di KRL AC belum sebaik pada saat ini, sampai era Commuter Line yang mana terdapat satu jenis KRL yang menjadi mayoritas dan seperti menjadi standar baru KRL. Semoga anda menyukai cerita saya, dan mohon maaf kalau cerita saya kurang berkenan di hati pembaca.
kirain yg punya web cewek, ternyata cowok wkwkwkwk
LikeLike